58 ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS


A. Pengertian
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanuspasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis loka. (Aru W. Sudoyo, 2006 : 1799)
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot massater dan otot-otot rangka. (Sjaifoellah Noer, 1996 : 474)
Derajat Keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Phillips, Dakar, Udwadia) yang dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem yang paling sering dipakai.
Klasifikasi beratnya tetanus
oleh Ablett :
1. Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebihd dari 30 disfagia ringan.
3. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalsata, spasme refleks berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfalgia berat dan takikardia lebih dari 120.
4. Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap. (Aru W. Sudoyo, 2006 : 1801)

B. Etiologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram positif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, penabuh genderang (drum stick). Kuman mengeluarkan toksi yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf penfer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan pada suhu 65 0C akan hancur dalam 5 menit. Di samping itu dikenal pula tetanolisin yang bersifat hemolisis, yang perannya kurang dalam proses penyakit. (Sjaifoellah Noer, 1996 : 474)

C. Manifestasi Klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik, persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. Trauma yang menyebabkan tetanus dapat hanyalah trauma ringan. Trauma yang menyebabkan tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai 50 % kasus trauma terjadi di dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan medis. Pada 15-25% pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.
1. Tetanus generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Maka inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari, 15% kasus terjadi dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari.
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot massester menyebabkan trismus atau “rahang terkunci”. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas, “risus sardonicus” dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan disfalgia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh.
2. Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Diantara neonatonus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.
3. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya terbatas hanya pada otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresif ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya baik.
4. Tetanus sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
(Aru W. Sudoyo, 2006 : 1799)
Masa tunas tetanus berkisar antara 2-21 hari. Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului oleh ketegangan otot terutama pada rahang dan leher. Kemudian timbul kesungkaran membuka mulut (trismus) karena spasme otot masseter. Kejang otot ini akan berlanjut ke kuduk (opistotonus), dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Bila serangan kejang tonik sedang berlangsung, sering tampak risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi. Gambaran umum yang kahs pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai dalam ekstensi, lengan kaku dengan tangan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik. Serangan timbul paroksismai, dapat dicetuskan oleh rangsang suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat pula timbul spontan. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak). Kadang dijumpai demam yang ringan dan biasanya pada stadium akhir. (Sjaifoellah Noer, 1996 : 475)

D. Patofisiologi
Berbagai keadaan di bawah ini dapat menyebabkan keadaan anaerob yang disukai untuk tumbuhnya kuman tetanus :
1. Luka dalam misalnya luka tusuk karena paku, kuku pecahan kaca atau kaleng, pisau dan benda tajam lainnya.
2. Luka karena tabrakan, kecelakaan kerja ataupun karena perang.
3. Luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telingan atau tonsil, gigitan serangga juga merupakan tempat masuk kuman penyebab tetanus.
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu :
1. Toksin diabsorbsi ujung saraf motorik dan melalui sumbu silidrik dibawa ke kornu anteriior susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk susunan saraf pusat.
Toksin bersifat seperti antigen, sangat mudah diikat jaringan saraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh anatoksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah, sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin spesifik.
Perubahan morfologi amat minimal dan tidak spesifik. Jaringan luka biasanya hanya menampakkan reaksi radang non spesifik dengan nekrosis jaringan. Jaringan saraf juga menampakkan reaksi non spesifik dan terdiri atas pembengkakan sel-sel ganglion motorik yang berhubungan dengan pembengkakan dan lisis inti sel. (Sjaifoellah Noer, 1996 : 474)
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai rigiditas dan spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu. (Aru W. Sudoyo, 2006 : 1801)

E. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi tetanus
Sistem Komplikasi
Jalan nafas Aspirasi
Laringuspasme/obstruksi
Obstruksi berkaitan dengan sedatif
Respirasi Apnea
Hipoksia
Gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal nafas tipe 2 ( spasme laringeal, spasme trunkal berkepanjangan, sedasi berlebihan)
ARDS
Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan (seperti pneumonia)
Komplikasi traneotomi (seperti stenosis trachea)
Kardiovaskuler Takikardia, hipertensi, iskemia
Hipotensi, bradikardia
Takiaritma, bradiaritma
Asistol
Gagal jantung
Ginjal Gagal ginjal curah tinggi (high output renal foilure)
Gagal ginjal oligouria
Stasis uria dan infeksi
Gastrointestinal Stasis gaster
Ileus
Diare
Perdarahan
Lain-lain Penurunan berat badan
Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multipel
Fraktur vertebra selama spasem
Ruptur tendon akibat spasme

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator. (Aru W. Sudono, 2006 : 1802)

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang didapatkan peninggian tekanan cairan otak.
2. Diagnosis
Anamnesis terdapatnya riwayat luka-luka seperti telah disebutkan dalam hal patogenesis, disertai keadaan klinis berupa kekakuan otot terutama di daerah rahang, sangat membantu diagnosis. Pembuktian kumah seringkali tidak perlu, karena amat suakr mengisolasi kuman dari luka pasien.
3. Diagnosis banding
Trismus dapat pula terjadi pada abses retrofaring, abses gigi yang berat, pembesaran kelenjar limfe leher. Kaku kuduk juga dijumpai pada meningitis, tetapi pada hal yang terakhir ini biasanya tampak jelas demam, kesadaran yang menurun dan kelainan cairan serebrospinalis. Rabies dapat menimbulkan spasme laring dan faring, tetapi tidak disertai trismus. Tetani dibedakan dengan tetanus dengan pemeriksaan kadar Ca dan P dalam darah.
(Sjaifoellah Noer, 1996 : 475)

G. Penatalaksanaan Medis
1. Umum
a. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya.
b. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
c. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap pasien.
d. Oksigen, pernafasan buatan dan trakeotomi bila perlu.
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

2. Obat-obatan
a. Anti toksin
Tetanus imun globulin (TIG) lebih dianjurkan pemakaiannya dibandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan.
Dosis inisial TIB yang dianjurkan adalah 5000 U intramuskular yang dilanjutkan dengan dosis harian 500-6000 U. Bila pemberian TIG tidak memungkinkan, ATS dapat diberikan dengan dosis 5000 U intramuskular dan 5000 U intravena.
Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
b. Anti kejang
Jenis obat anti kejang, dosis dan efek sampingnya. Yang lazim digunakan pada tetanus.
Jenis obat Dosis Efeks Samping
Diazepam

Memprobamat

Klorpromasin

Fenobarbital intramuskular 0,5-1,0 mg/kg berat badan/4 jam intramuskular
300-400 mg/4 jam intramuskular
25-75 mg/4 jam intramuskular
50-100 mg/4 jam Sopor, koma

Tidak ada

Hipotensi

Depresi pernafasan


c. Antibiotik
Pemberian penisilin prokain 1,2 juta unit/hari atau tetrasiklin 1 g/hari, secara intravena, dapat memusnahkan C tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologisnya.

H. Pencegahan
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Mencegah terjadinya luka.
2. Merawat luka secara adekuat
3. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka akan memberikan kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasi.
Umumnya diberikan dalam dosis 15000 U intramuskular setelah dilakukan tes kulit.
4. Di negara barat, pencegahan tetanus dilakukan dengan pemberian toksoid dan TIG.
(Sjaifoellah Noer, 1996 : 476)

sekian sharingnya.. maaf bila masih banyak kekurangan

Tidak ada komentar: