66 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Stroke

BAB I
KONSEP DASAR

I. STROKE
A. Pengertian STROKE
1. STROKE adalah penyakit gangguan fungsional otak fokal maupun global akut dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang terkena, yang sebelumnya tanpa peringatan, dan yang dapat sembuh sempurna, sembuh dengan cacat atau kematian, akibat gangguan aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun non perdarahan (Junaidi Iskandar, 2002)
2. STROKE adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic (Kapita Selekta Kedokteran, 2000)
Strok (bahasa Inggris: stroke) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi bio-kimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu. Strok adalah penyebab kematian yang ketiga di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa (Jauch, 2005). Bila dapat diselamatkan, kadang-kadang si penderita mengalami kelumpuhan pada anggota badannya, hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicaranya. Untuk menggarisbawahi betapa seriusnya strok ini, beberapa tahun belakangan ini telah semakin populer istilah serangan otak. Istilah ini berpadanan dengan istilah yang sudah dikenal luas, "serangan jantung". strok terjadi karena cabang pembuluh darah terhambat oleh emboli. emboli bisa berupa kolesterol atau mungkin udara
B. Etiologi STROKE
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), etiologi stroke adalah :
1. Trombosist
Adalah gumpalan darah yang ada didalam dinding pembuluh darah, perlahan akan menutup akibat penyimpanan kolesterol dalam dinding arteri. Tanda-tanda trombosit bervariasi, misal : sakit kepala, pusing kejang dan kehilangan bicara sementara, paralysis dan tanda ini tidak terjadi secara tiba-tiba.
2. Embolisme Serebral
Adalah bekuan darah yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain. Emboli ini berasal dari thrombus dalam jatung sehingga emboli ini merupakan perwujudan dari penyakit jantung.
3. Ischemia
Adalah penurunan aliran darah ke otak
4. Hemorragic Serebral
Adalah perdarahan pada otak akibat pecahnya pembuluh darah serebral sehingga darah masuk ke dalam jaringan otak atau disekitar otak.

C. Patofisiologi STROKE
Menurut Lany Sustiyani Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto, 2003 dalam kehidupan sehari-hari otak membutuhkan suplai darah yang konstan di mana dalam hal ini semua perubahan-perubahan tekanan perfusi dari sistem sirkulasi sentral dipelihara oleh suatu fenomena auto regulasi. Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cidera pada otak melalui empat mekanisme, yaitu :
1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke bagian otak tidak adekuat, serta selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskhematik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian rupa hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis (infark)
2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan hancurnya darah ke jaringan (hemorrhage)
3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak.
4. Rdema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstisiel jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula hanya menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampui batas kristis terjadi pengurangan aliran secara drastic dan cepat.
Akulasi suatu arteri otak akan menimbulkan Reduksi perfusi suatu area di mana jaringan otak normal sekitarnya masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha untuk membantu mensuplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Selanjutnya akan terjadi edema di daerah ini. Selama berlangsungnya peristiwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi, sehingga aliran darah akan mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Disamping itu reaktifitas serebrovaskuler terhadap PCO2 terganggu. Berkurangnya aliran darah serebral sampai tahap ambang tertentu akan melalui serangkaian gangguan fungsi neuroral. Bila aliran darah berkurang sampai di bawah ambang fungsi elektrik, fungsi kortikal terganggu, namun neuron-neuron masih tetap hidup sampai aliran darah turun di bawah ambang kerusakan permanen, dan saat ini akan terjadi kerusakan jaringan yang permanen.
Pathway

Hipertensi, DM, Merokok, Penyakit Jantung, Kegemukan / obesitas


D. Gejala Klinis STROKE
Menurut Junaidi Iskandar (2002), gejala klinis stroke berupa:
1. Kesemutan atau gangguan sensibilitas dan kelemahan dari anggota gerak termasuk wajah.
2. Kesulitan berbicara memahami pembicaraan atau tiba-tiba menjadi bingung
3. Gangguan penglihatan pada satu atau kedua mata
4. Kesulitan berjalan, sempoyongan atau kehilangan keseimbangan
5. Nyeri kepala hebat dengan sebab yang tidak jelas disertai mual dan muntah
6. Perubahan mendadak tingkah laku / status mental
7. Disartria (bicara pelo/ cedal)

E. Klasifikasi STROKE
Klasifikasi dari stroke ada dua macam, menurut Lanny Sustiani, Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto (2003), adalah :
1. Stroke Non Haemorragic
Stroke disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Menumpuknya lemak pada pembuluh darah yang menyebabkan mulai terjadinya pembekuan darah.
b. Benda asing dalam pembuluh darah jantung
c. Adanya lubang pada pembuluh darah sehingga darah bocor yang mengakibatkan aliran darah ke otak berkurang.
2. Stroke Haemorragic
Stroke ini disebabkan karena salah satu pembuluh darah di otak bocor atau pecah sehingga darah mengisi ruang sel-sel otak.
a. Darah tinggi yang dapat menyebabkan pembuluh darah pecah
b. Peleburan pada pembuluh darah yang menyebabkan pembuluh darah pecah
c. Tumor pada pembuluh darah
Perbedaan Stroke Non Haemorragic dan Stroke Haemorragic
Gejala Stroke Non Haemorragic Stroke Haemorragic
Saat kejadian
Nyeri kepala
Kejang
Muntah
Adanya tanda peringatan Mendadak, istirahat
Ringan
Tidak ada
Tidak ada
Ada Mendadak, sedang aktif
Hebat
Ada
Ada
Tidak ada

F. Faktor-Faktor Resiko STROKE
Menurut Junaidi Iskandar, (2002) faktor-faktor resiko stroke terdiri dari:
1. Faktor resiko yang dapat dikontrol, adalah :
a. Hipertensi
b. Diabetes Melitus
c. Merokok
d. Penyakit jantung
e. Kegemukan / obesitas
f. Hiperkolesterolemia dan hiperurikemia
g. Kelainan arteri karotis
h. Hiperkoagulasi (darah mudah menggumpal)
i. Konsumsi alkohol berlebihan
j. Penyalahgunaan obat
k. Gangguan pernafasan saat tidur (sleep apnea)
l. Pernah terjadi serangan / Transient Ischemic Attack (TIA) sebelumnya.
2. Faktor yang tidak dapat dikontrol, adalah :
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Ras / Suku Bangsa
d. Kelainan bawaan / herediter
e. Riwayat stroke / TIA sebelumnya

G. Komplikasi STROKE
Menurut Sjaifoellah Noer, (2002), komplikasi dari stroke yaitu :
1. Depresi
Dampak yang menyulitkan penderita dan orang di sekitarnya. Oleh karena itu keterbatasan akibat kelumpuhan, sulit berkomunikasi sehingga penderita stroke dapat mengalami depresi.
2. Darah beku
Terbentuk pada jaringan yang lumpuh (kaki) dapat mengakibatkan pembengkakan


3. Radang paru-paru / pneumonia
Dampak stroke dapat memungkinkan penderita kesulitan menelan, batuk-batuk sehingga cairan terkumpul di paru-paru.
4. Dekubitus
Saat mengalami stroke usahakan untuk selalu berpindah dan bergerak secara teratur. Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat bisa menjadi infeksi, keadaan ini dapat menjadi parah bila berbaring di tempat tidur yang basah.

H. Pemeriksaan Radiologi
Menurut Junaidi Iskandar, (2002) pemeriksaan radiologi berupa:
1. CT. SCAN
Untuk membedakan antara stroke hemorrhagic dan non hemorrhagic
2. Angigrafi
Untuk melihat gambaran pembuluh darah yang patologis
3. EEG
Untuk melihat area yang spesifik dari lesi otak
4. MRI
Untuk mengetahui adanya perdarahan
5. Brainplan
Untuk mengetahui adanya infark hemorrhagic, hematoma dan malformasi dari arteri dan vena.
6. Dopler Ultrasonography
Untuk mengetahui ukuran dan kecepatan aliran darah yang melalui pembuluh darah
7. Skuli Rontgenogram
Untuk mengetahui klasifikasi intra kranial
8. Digital Substraction Angiography
Untuk mengetahui adanya aklusi atau penyempitan pembuluh darah terutama kolusi arteri karotif
9. Eshoencephalography
Untuk mengetahui adanya pergeseran dari struktur midline
10. B. Mode Ultrasound
Untuk mengukur tekanan darah melalui pembuluh darah leher.

I. Nursing Care Plan (NCP)
1. Pengkajian (Doenges, 2001)
a. Riwayat kesehatan pasien
1) Keluhan utama
2) Penyakit sekarang
3) Penyakit dahulu
4) Riwayat sosial
b. Aktivitas istirahat
Gejala : Kesulitan beraktivitas karena hemiplegia / hemiparase
Tanda : Gangguan tonus otot (flaksid/spastik) dan terjadi kelemahan umum, gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran
c. Sirkulasi
Gejala : Adanya penyakit jantung dan riwayat hipotensi postural
Tanda : - Hipertensi vaskuler
- Frekuensi nadi yang bervariasi
- Disaritmia
- Desiran karotis, femoralis, arteri iliaka
d. Integritas ego
Gejala : Perasaan tidak berdaya
Tanda : emosi lebih  kesulitan mengekspresikan diri
e. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia / anuria, distensi abdomen, ileus paralitik
f. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual , muntah pada fase akut, kehilangan sensasi
Tanda : kesulitan menelan
g. Neurosensori
Gejala : Sinkope, sakit kepala, hilangnya sensibilitas, hemiplegia, atau hemiparese, penglihatan menurun
Tanda : Penurunan tingkat kesadaran, paralysis wajah, afasia motoril / sensorik, penurunan respon terhadap rangsang, penurunan kemampuan motoris, ukuran dan reaksi pupil yang tidak sama

h. Nyeri / ketidakseimbangan
Gejala : Headache
Tanda : Tingkah laku tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot / facia
i. Pernafasan
Gejala : Merokok (faktor resiko)
Tanda : ketidakmampuan menelan / batuk, sonki, dispnoe
j. Keamanan
Tanda : Perubahan persepsi terhadap sensori, tidak mampu mengenal objek, kesulitan menelan
k. Interaksi sosial
Tanda : Masalah bicara / ketidakmampuan komunikasi
l. Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : Riwayat hipertensi keluarga
2. Pengkajian fungsi saraf cranial
a. Olfaktorius ( I )
Menunjukkan penurunan sensori penciuman / penghidup
b. Obtikus ( II )
Adanya penurunan ketajaman penglihatan karena penurunan sensorik
c. Okulomotorius ( III )
Klien tidak mampu mengangkat kelopak mata, pupil akan miosis atau tidak dapat mengkontraksikan pupil dan sebagian gerakan ekstra okuler terganggu.

d. Troklearis ( IV )
Klien tidak dapat menggerakkan mata ke bawah dan ke dalam
e. Trigeminus ( V )
Gangguan pada otot temporalis dan masseter serta gerak rahang ke lateral. Penurunan respon sensorik pada rangsangan di kulit wajah 2/3 depan kulit kepala mukosa mata, dan hidung, rongga mulut, lidah dan gigi, gangguan reflek berkedip.
f. Fasialis ( VI )
Ekspresi wajah tidak norma, gangguan laktima dan salvias, penurunan fungsi pengecapan bagian depan lidah (manis, asam, asin)
g. Vestibulo koklearis ( VII )
Keseimbangan tubuh dan pendengaran terganggu / menurun
h. Glosofaringeus ( VIII )
Sulit menelan, tidak ada reflek muntah, gangguan salivasi gangguan pengecapan, lidah belakang, gangguan pada faring
i. Vagus ( IX )
Gangguan pada saluran pencernaan
j. Accesorius ( X )
Ketidakmampuan menggerakkan kepala dan bahu
k. Hyplogossus
Gangguan pergerakan lidah


3. Diagnosa keperawatan (Suddarth & Brunner, 2001)
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral yang berhubungan dengan adanya sumbatan pembuluh darah otak, perdarahan otak, vasospasmus otak, oedem cerebral.
1) Tujuan : Perfusi jaringan otak dapat dipertahankan secara adekuat setelah dilakukan tindakan keperawatan
2) Kriteria hasil
Indikator 1 2 3 4 5
1. Peningkatan sensori
2. Perbedaan rangsang
3. Tidak parestesia
4. Tidak hiperparesia
Ket:
1. Sangat tidak sesuai
2. Sering tidak sesuai
3. Kadang tidak sesuai
4. Jarang tidak sesuai
5. Sesuai
3) Intervensi
a) Kaji faktor penyebab penurunan perfusi cerebral dan potensial peningkatan tekanan intrakranial
b) Monitor status neurologi setiap hari
c) Monitor tanda-tanda vital tiap jam
d) Evaluasi pupil, ukuran, bentuk kesamaan, respon terhadap cahaya
e) Kaji perubahan penglihatan kabur, lapang pandang menurun
f) Beri tirah baring dan lingkungan yang nyaman
g) Cegah mengejan saat BAB dan menahan nafas
h) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan tidak sadar atau batuk tidak efektif
1) Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan. (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator 1 2 3 4 5
1. Tidak ada demam
2. Tidak ada kecemasan
3. RR dalam batas normal
4. Irama nafas normal
5. Tidak ada suara tambahan
Ket:
1. Sangat tidak sesuai
2. Sering tidak sesuai
3. Kadang tidak sesuai
4. Jarang tidak sesuai
5. Sesuai
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji dan pantau pernafasan, reflek batuk dan sekresi
b) Kaji program analgetik
c) Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan nafas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
d) Pasang bantuan alat nafas
e) Atur posisi kepala lebih tinggi  30 o
f) Berikan cairan  3 liter untuk mengencerkan sekresi
c. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan gangguan neuro muscular, penurunan kekuatan dan ketahanan otot serta penurunan Koordinasi otot
1) Tujuan : Perawatan diri pasien meningkat setelah diberikan tindakan keperawatan. (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator 1 2 3 4 5
1. Makan
2. Ganti pakaian
3. Toileting
4. Mandi
5. Berhias
6. ambulasi jalan
Ket:
1. Tergantung penuh
2. Butuh bantuan alat dan orang
3. Butuh bantuan orang
4. Butuh bantuan alat
5. Mandiri

3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji kemampuan klien untuk melakukan kegiatan sehari-hari
b) Berikan bantuan seperlunya pada hal-hal yang pasien mampu melakukannya
d. Gangguan sensori perceptual yang berhubungan dengan gangguan sensori penerimaan, transmisi dan integrasi.
1) Tujuan : Mengembalikan fungsi persepsi sensorik agar mengarah ke pemulihan / normal dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal mungkin tidak terjadi (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator 1 2 3 4 5
1. Penglihatan
2. Reflek mata
3. Tidak ada pusing
4. Fungsi saraf otonom
5. Gerakan otot wajah
Ket:
1. Sangat tidak sesuai
2. Sering tidak sesuai
3. Kadang tidak sesuai
4. Jarang tidak sesuai
5. Sesuai


3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji respon sensorik terhadap rabaan panas / dingin / tajam / tumpul dan catat perubahan yang terjadi
b) Koreksi kemampuan pasien berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu
c) Bicara dengan pasien, dengan tenang, gunakan kalimat sederhana
d) Berikan pengamanan di sisi tempat tidur
e. Gangguan eliminasi urine : inkontinensia yang berhubungan dengan hilangnya kemampuan kontrol eliminasi urin sekunder pada gangguan motor saraf unilateral.
1) Tujuan : Klien dapat mengontrol pengeluaran urine (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator 1 2 3 4 5
1. Mengenal sensasi BAK yang urgen
2. memperkirakan pola BAK
3. Berespon waktu atau kebiasaan untuk Bak
4. Bebas urine tertahan diantara berkemih


Ket:
1. Tidak pernah bisa melakukan
2. Jarang bisa melakukan
3. Kadang bisa melakukan
4. Sering bisa melakukan
5. Selalu bisa melakukan
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Monitor dan catat inkontinensia urine
b) Tawarkan urinal, bila mungkin ke kamar mandi setiap 2 – 3 jam
c) Ajarkan dan anjurkan pasien melakukan latihan parineal : dengan cara menahan kemih dan mengeluarkan kembali pada pertengahan berkemih, meregangkan dan melemaskan otot-otot untuk memperbaiki tonus spinchter uretra
d) Atur agar intake cairan lebih sedikit pada sore hari untuk mengurangi kemungkinan inkontinensia pada malam hari
e) Anjurkan pasien menghindari minum-minuman yang mengandung kafein (kafein adalah sejenis diuretic)
f) Konsultasikan ke dokter, bila memerlukan pemasangan DC
f. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan adanya kelemahan parestesia, kelumpuhan flacsial, hipotonik, kelumpuhan spastik
1) Tujuan : Mobilitas fisik klien tidak tergantung setelah dilakukan tindakan keperawatan (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator 1 2 3 4 5
1. Menjaga keseimbangan tubuh
2. Menjaga posisi tubuh
3. Pergerakan otot (ekstremitas)
4. Pergerakan sendi (ekstremitas)
5. Ambulasi jalan
Ket:
1. Tergantung penuh
2. Butuh bantuan orang lain dan alat
3. Butuh bantuan orang lain
4. Butuh bantuan alat
5. Mandiri
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji tingkat kemampuan dalam melakukan aktivitas tiap hari
b) Observasi keadaan integritas kulit
c) Lakukan alih baring tiap 2 – 4 jam
d) Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuannya
e) Kolaborasi dengan fisioterapi
g. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan gangguan sirkulasi cerebral, gangguan saraf dan otot, kehilangan otot wajah / mulut umumnya karena kelemahan, kelelahan
1) Tujuan : Komunikasi klien tidak terganggu setelah dilakukan tindakan keperawatan (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator 1 2 3 4 5
1. Menggunakan bahasa tulisan
2. Menggunakan bahasa lisan
3. Menggunakan gambar
4. Menggunakan bahasa non verbal
Ket:
1. Tidak pernah sesuai harapan
2. Jarang sesuai harapan
3. Kadang sesuai harapan
4. Sering sesuai harapan
5. Selalu sesuai harapan
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji tingkat ketidakmampuan pesan
b) Dengarkan dengan seksama pembicaraan pasien dari feed bed oleh perawat, arti kata-kata yang dimaksud
c) Libatkan keluarga untuk melatih bicara
d) Konsultasikan dengan speech terapi sesuai indikasi
II. Diabetes Mellitus
A. Pengertian
1. Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolik yang dikarakteristikkan oleh hiperglikemia, dan diakibatkan dari kerusakan produksi insulin (Sandra M. Nettina, 2002).
2. Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronis yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Arif Mansjoer, 1999).

B. Etiologi (Suddarth & Brunner, 2001)
Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) disebabkan oleh destruksi sel β pulau langerhans akibat proses autoimun. Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DM TTI) disebabkan kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin.
Serangan autoimun pada DM tipe I dapat timbul setelah infeksi virus misalnya gondongan (MUMPS), rubeia, sitomegali virus tronik atau gotongan obat nitro samin yang terdapat pada daging yang diawetkan. Pada saat diagnosis DM tipe I ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans pada sebagian besar pasien. Salah satu kemungkinan seseorang membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans adalah bahwa terdapat suatu agen lingkungan yang secara antigens mengubah sel-sel pankreas untuk merangsang pembentukan autoantobodi.
DM tipe II tampaknya berkaitan dengan kegemukan. Selain itu pengaruh genetik yang menentukan kegemukan seseorang mengidap penyakit ini, cukup kuat.

C. Patofisiologis STROKE
Hipoglikemia adalah glukosa darah yang kurang dari 50 mg/100 ml darah. Hipoglikemia dapat disebabkan oleh puasa, atau khususnya puasa yang disertai olah raga, karena olah raga meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel-sel, otot rangka. Namun hipoglikemia lebih sering disebabkan oleh kebiasaan dosis insulin pada pengidap diabetes dependen-insulin. Karena otak memerlukan glukosa darah sebagai sumber energi utama. Maka hipoglikemia menyebabkan timbulnya berbagai gejala gangguan fungsi susunan saraf pusat (SSP) berupa konfusi, iritabilitas kejang dan koma. Hipoglikemia dapat menyebabkan nyeri kepala, akibat perubahan aliran darah otak dan perubahan keseimbangan air. Secara sistematis, hipoglikemia menyebabkan pengaktivan sistem saraf simpatis yang merangsang rasa lapar, kegelisahan, berkeringat dan takikardia.
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah yang tinggi dari pada rentang kadar puasa normal 80-90 ml/100 ml darah, atau rentang nono puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. Hiperglikemia biasanya disebabkan oleh defisiensi insulin, seperti dijumpai pada diabetes tipe I, atau karena penurunan responsivitas sel terhadap insulin, seperti dijumpai pada diabetes tipe II hiperkortisolemia, yang terjadi pada sindrom cushing dan sebagai respon terhadap stress kronik, dapat menyebabkan hiperglikemia melalui perangsangan glukoneogenesis hati. Keadaan akut kelebihan hormon tiroid, prolaktin, dan hormon pertumbuhan dapat menyebabkan peningkatan glukosa darah. Peningkatan kadar hormon-hormon tersebut dalam jangka panjang, terutama hormon pertumbuhan dianggap diabetogenik (menimbulkan diabetes).
Pengolahan bahan makan dimulai di mulut kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus, didalam saluran pencernaan itu makan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ didalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat berfungsi dengan bahan bakar, zat makanan itu harus masuk dulu kedalam sel supaya dapat diolah. Didalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peran yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa kedalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas.

1. Pankreas
Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya dibelakang lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada beta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan hormon insulin, yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa darah.
2. Kerja insulin
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian didalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insul;in tidak ada, maka glukosa tak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap berada didalam pembuluh darah yang artinya kadarnya didalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan jadi lemah karena tidak ada sumber energi didalam sel. Inilah yang terjadi pada diabetes mellitus tipe I.
Pada diabetes mellitus tipe II jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk kedalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa didalam pembuluh darah meningkat.
Kadar gula yang tinggi dalam waktu yang lama mengakibatkan gula darah pekat dan terjadi pengendapan yang menimbulkan aterosklerosis sehingga meningkatkan tekanan darah/ hipertensi.

D. Klasifikasi
Menurut Tjokro Pawiro Askandar, (2001) klasifikasi Diabetes mellitus terdiri dari:
1. Diabetes mellitus tipe I (DM tergantung insullin/ IDDM)
Gambaran kliniknya biasanya timbul pada masa kanak-kanak, tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa.
2. Diabetes melitus tipe 2 (Tidak tergantung insullin/ NIDDM)
Timbul makin sering setelah umur 40 tahun dengan catatan pada dekade ke 7 kekerapatan diabetes mencapai 3 sampai 4 kali lebih tinggi dari pada rata-rata orang dewasa. Pada keadaan dengan kadar glukosa darah tidak terlalu tinggi atau belum ada komplikasi, biasanya pasien tidak berobat ke rumah sakit atau dokter.

E. Tanda dan Gejala
Menurut Arief Mansjoer, (1999) tanda dan gejala DM terdiri dari:
1. Poliuri
Ketika kadar glukosa darah meningkat ke tingkat pada saat jumlah glukosa yang difiltrasi melebihi kapasitas. Sel-sel tubulus melakukan reabsorbsi, glukosa akan timbul di urin (glukosuria), glukosa di urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O bersamanya menimbulkan diuresis osmotik yang ditandai oleh poliuria.
2. Polidipsi
Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi, yang pada gilirannya dapat menyebabkan tegangan sirkulasi perifer karena volume cairan turun mencolok. Sehingga sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstra sel yang hipertonik. Rasa haus yang berlebih sebenarnya merupakan kompensasi untuk mengatasi dehidrasi.
3. Polifagia
Akibat penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai oleh peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati meningkat karena proses yang menghasilkan glukosa yaitu glikogenolisis dan glikoneogenesis, berlangsung tanpa hambatan karena insulin tidak ada, karena sebagian besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, sehingga terjadi kelebihan glukosa di ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intra sel akibatnya nafsu makan meningkat.

F. Komplikasi
Menurut Tjokro Pawiro Askandar, (2001) komplikasi DM terdiri dari:
1. Komplikasi akut
a. Hipoglikemia
b. Diabetes Ketoasidosis
c. Sindrom HHNIK (Koma Hiperglikemik Hiperosmoler)
2. Komplikasi jangka panjang
a. Komplikasi makrovaskuler
1) Penyakit arteri koroner
2) Penyakit serebrovaskuler
3) Penyakit vaskuler perifer
b. Komplikasi Mikrovakuler
1) Retinopati diabetik
Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata.
2) Nefropati
Bila kadar glukosa darah tinggi maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stres yang menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat, kenaikan tekanan tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan penunjang menurut Donges, (2000) adalah sebagai berikut
a. Glukosa darah : Meningkat 200-100 mg/dL atau lebih
b. Aseton plasma (keton) : Positif secara mencolok
c. Asam lemak bebas : Kadar lipd dan kolesterol meningkat
d. Osmolalitas : Meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsn/lt
e. Elektrolit
1) Natrium : Mungkin normal, meningkat atau menurun
2) Kalium : Normal atau peningkatan semua (perpindahan selulosa) selanjutnya akan menurun
3) Fosfor : lebih sering menurun
f. Gas darah arteri. Biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik.
g. Trombosit darah. Ht mungkin meningkat (dehidrasi) leukositosis hemokonsentrasi merupakan respons terhadapstress atau infeksi.
h. Ureum/ kreatinin. Mungkin meningkat atau normal (dehidrasi/ penurunan fungsi ginjal)
i. Amilase darah. Mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya pakreatitis akut sebagai penyebab dari DKA

H. Penatalaksanaan Medis (Askandar Tjokro Pawiro, 2001)
1. Diet
Penentuan jumlah kalori diet diabetes disesuaikan dengan status gizi penderita. Penentuan gizi penderita dilaksanakan dengan menghitung percentage of relative body weight (BBR : berat badan relatif) dengan rumus:
(BB = kg, TB : cm)
a. Kurus (= BBR < 90%) b. Normal (ideal) : BBR 90-110% c. Gemuk : BBR > 110%
d. Obesitas, apabila BBR > 20% :
1) Obesitas ringan 120-130%
2) Obesitas ringan 130-140%
3) Obesitas berat 140-200%
4) Obesitas Morbid > 200%
Dalam praktek, sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari untuk penderita DM yang bekerja biasa adalah :
b. Kurus : BB x 40-60 kalori sehari
c. Normal : BB x 30 kalori sehari
d. Gemuk : BB x 20 kalori sehari
e. Obesitas : BB x 10-15 kalori sehari
2. Latihan Fisik
a. Manfaat
1) Meningkatkan kepekaan Insulin apabila dikerjakan setiap 11/2 jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resistance pada penderita dengan kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin dengan reseptornya.
2) Memperbaiki aliran darah perifer dan menambah oxygen supply.
3) Menurunkan kolesterol dan trigliserida dalam darah, karena pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
3. Pemantauan
Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri, dengan cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemi dan hiperglikemi, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang.
4. Pengobatan/ Terapi
a. Golongan sulfonilurea
1) Short acting: Tolbutamide, Glycodiazine, Tolazamide mempunyai waktu paruh sekitar 4 jam, kerja cepat, diberikan 1-3 kali sehari (pagi, siang, sore). Apabila pemberian cukup dua kali sehari maka berikan pagi dan siang dan bila pemberiannya cukup sekali, berikan pada pagi hari.
2) Intermediate
Mempunyai waktu paruh antara 5-8 jam, diberikan 1-2 kali sehari (pagi dan siang) jangan pagi dan malam. Apabila diberikan satu kali, maka diberikan pada pagi hari saja.

Contoh :
• Glibenclamide (Euglocon, Daonil)
• Gliclazide (Diamicron)
• Gliquidone (Glurenorm)
3) Long acting
Mempunyai waktu paruh antara 24-36 jam, diberikan sekali saja setiap pagi.
Contoh : Chlorpropamide.
b. Golongan Biguanide
Obat ini hanya dapat digunakan jika masih terdapat insulin. biguanide tidak memberikan efek-efek pada sel beta pankreas.
Contoh: Metformin (Glucophage)
c. Arkbose (Cepobay)
Diberikan bersamaan dengan suap pertama tiap makan, umumnya 3x1 tablet/ hari.
d. Repaglinide (Novonorm)
Diberikan setiap sebelum makan utama.
e. Insulin
1) Short acting insulin
Contoh: insulin reguler (yang ditandai “R” pada botolnya)
Awitan kerja human insulin regular adalah ½ hingga 1 jam, puncaknya 2 hingga 3 jam durasi kerjanya 4 hingga 6 jam. Insulin reguler diberikan 20-30 menit sebelum makan.
2) Intermediate acting insulin
• NPH insulin (neutral protamine Hagedorn)
• Lente Insulin (L)
Awitan kerja human insulin intermediate acting adalah 3 hingga 4 jam puncaknya 4 hingga 12 jam durasi kerjanya 16-12 jam, biasanya diberikan sesudah makan.
3) Long acting insulin
• Ultralente insulin (UL)
Awitan kerja long acting human insulin adalah 6-8 jam, puncaknya 12-16 jam durasi 20-30 jam. Insulin long acting kadang-kadang disebut sebagai insulin durasi 20-30 jam. Insulin long acting kadang-kadang disebut sebagai insulin tanpa puncak kerja karena preparat ini cenderung memiliki kerja yang panjang, perlahan dan bertahan. Long acting insulin ini digunakan terutama untuk mengendalikan kadar glukosa darah puasa.

III. Hipertensi
A. Definisi
1. Hipertensi adalah tekanan sistolik lebih tinggi dari 140 mmHg menetap atau tekanan diastolic > 90 mmHg. Diagnosis dipastikan dengan mengukur rata-rata dua atau lebih pengukiran tekanan darah pada waktu yang terpisah (Engram, 1998).
2. Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolnya diatas 90 mmHg (Brunner and Suddarth, 2001).
3. Hipertensi adalah peningkatan sistole, yang tingginya tergantung umur individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, umur dan tingkat stress yang dialami (Tamboyong, 2000).

B. Etiologi (Sjaifoellah Noer, 2001)
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua :
1. Hipertensi Esensial
Yaitu hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dan meliputi 90 % dari seluruh penderita hipertensi, faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain
a. Genetik
Peran faktor genetik terhadap hipertensi esensial dibuktikan bahwa kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot dari pada heterozigot, apabila salah satu diantara menderita hipertensi. Pada 70 % kasus hipertensi esensial didapatkan riwayat hipertensi esensial.
b. Usia
Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur.
c. Obesitas
Adanya penumpukan lemak terutama pada pembuluh darah mengakibatkan penurunan tahanan perifer sehingga meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengakibatkan peningkatan vasokontriksi dan penurunan vasodilatasi dimana hal tersebut dapat merangsang medula adrenal untuk mensekresi epinerpin dan norepineprin yang dapat menyebabkan hipertensi.
d. Hiperkolesterol
Lemak pada berbagai proses akan menyebabkan pembentukan plaque pada pembuluh darah. Pengembangan ini menyebabkan penyempitan dan pengerasan yang disebut aterosklerosis.
e. Asupan Natrium meningkat (keseimbangan natrium)
Kerusakan ekskresi natrium ginjal merupakan perubahan pertama yang ditemukan pada proses terjadinya HT. Retensi Na+ diikuti dengan ekspansi volume darah dan kemudian peningkatan output jantung. Autoregulasi perifer meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan berakhir dengan HT.
f. Rokok
Asap rokok mengandung nikotin yang memacu pengeluaran adrenalin yang merangsang denyutan jantung dan tekanan darah. Selain itu asap rokok mengandung karbon monoksida yang memiliki kemampuan lebih kuat dari pada Hb dalam menarik oksigen. Sehingga jaringan kekurangan oksigen termasuk ke jantung.
g. Alkohol
Penggunaan alkohol atau etanol jangka panjang dapat menyebabkan peningkatan lipogenesis (terjadi hiperlipidemia) sintesis kolesterol dari asetil ko enzim A, perubahan seklerosis dan fibrosis dalam arteri kecil.
h. Obat-obatan tertentu atau pil anti hamil
Pil anti hamil mengandung hormon estrogen yang juga bersifat retensi garam dan air, serta dapat menaikkan kolesterol darah dan gula darah.
i. Stres psikologis
Stres dapat memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang tinggi, yang bersifat memperberat kerjaya arteri koroner sehingga suplay darah ke otot jantung terganggu.
Stres dapat mengaktifkan saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan darah secara intermiten.
2. Hipertensi sekunder
Disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya :
a. Penyakit ginjal
Kerusakan pada ginjal menyebabkan renin oleh sel-sel juxtaglomerular keluar, mengakibatkan pengeluaran angiostensin II yang berpengaruh terhadap sekresi aldosteron yang dapat meretensi Na dan air.


b. Diabetes Mellitus
Disebabkan oleh kadar gula yang tinggi dalam waktu yang sama mengakibatkan gula darah pekat dan terjadi pengendapan yang menimbulkan arterosklerosis meningkatkan tekanan darah.

C. Klasifikasi
Klasifikasi Stadium hipertensi Menurut Sjaifoellah Noer, (2001) terdiri dari:
a. Stadium 1 (ringan)
Tekanan sistolik antara 140 – 159 mmHg. Tekanan diastolik antara 90-99 mmHg.
b. Stadium 2 (sedang).
Tekanan sistolik antara 160 – 179 mmHg. Tekanan diastolik antara 100 – 109 mmHg.
c. Stadium 3 (berat)
Tekanan sistolik antara 180 – 209 mmHg. Tekanan diastolik antara 110 – 119 mmHg.
d. Stadium 4 (sangat berat)
Tekanan sistolik lebih atau sama dengan 210 mmHg. Tekanan diastolik antara > 120 mmHg.
Klasifikasi ini tidak untuk seseorang yang memakai obat antihipertensi dan tidak sedang sakit akut. Apabila tekanan sistolik dan diastolik terdapat pada kategori yang berbeda. Maka harus dipilih kategori yang tinggi untuk mengklasifikasi status tekanan darah seseorang.

D. Tanda dan Gejala
Menurut Tambayong (2000) gejala dan tanda dapat dikarakteristikkan sebagai berikut :
1. Sakit kepala
2. Nyeri atau berat di tengkuk
3. Sukar tidur
4. Mudah lelah dan marah
5. Tinnitus
6. Mata berkunang-kunang
7. Epistaksis
8. Gemetar
9. Nadi cepat setelah aktivitas
10. Sesak napas
11. Mual, muntah

E. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada hipertensi adalah sebagai berikut :
1. Payah jantung (gagal jantung)
2. Pendarahan otak (stroke)
3. Hipertensi maligna : kelainan retina, ginjal dan cerabrol
4. Hipertensi ensefalopati : komplikasi hipertensi maligma dengan gangguan otak.
5. Infark miokardium
Dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen kemiokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.
6. Gagal ginjal
Karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal. Nefron terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kemataian. Dengan rusaknya membran glomerulus,proteinakan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang,menyebabkan edema,yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa hipertensi menurut Doenges (2000) antara lain :
1. EKG : Hipertropi ventrikel kiri pada keadaan kronis lanjut.
2. Kalium dalan serum : meningkat dari ambang normal.
3. Pemeriksaan gula darah post prandial jika ada indikasi DM.
4. Urine :
a. Ureum, kreatinin : meningkat pada keadaan kronis dan lanjut dari ambang normal.
b. Protein urine : positif

G. Penatalaksanaan
Menurut Engram (1999), penatalaksanaanya antara lain :
1. Pengobatan hipertensi sekunder mendahulukan pengobatan kausal.
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan obat hipertensi.
3. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang bahkan seumur hidup.
4. Pengobatan dengan menggunakan standar triple therapy (STT) terdiri dari:
a. Diuretik, misalnya : tiazid, furosemid, hidroklorotiazid.
b. Betablocker : metildopa, reserpin.
c. Vasodilator : dioksid, pranosin, hidralasin.
d. Angiotensin, Converting Enzyme Inhibitor.
5. Modifikasi gaya hidup, dengan :
a. Penurunan berat badan.
b. Pengurangan asupan alkohol.
c. Aktivitas fisik teratur.
d. Pengurangan masukan natrium.
e. Penghentian rokok.

H. Nursing Care Plan
1. Pengkajian data dasar (Doenges, 2000)
a. Diabetes Mellitus
1) Aktivitas
• Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan. Kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur/istirahat.
• Takirkadia dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas.
2) Sirkulasi
• Adanya riwayat hipertensi.
• Takikardia.
• Perubahan tekanan darah posturral, hipertensi.
• Nadi yang menurun/tak ada.
• Disritmia.
3) Integritas ego
• Stress, tergantung pada orang lain.
• Ansietas, peka rangsang.
4) Eliminasi
• Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia.
• Rasa nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/berulang.
• Nyeri tekan abdomen.
• Diare.
5) Makanan/cairan
• Hilang nafsu makan
• Mual/muntah
• Tidak mengikuti diet ; peningkatan masukan glukosa/karbohidrat.
• Haus
• Kulit kering, turgor jelek
• Ketakutan/distensi abdomen, muntah.
• Pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah)
• Bau halitosis/manis, bau buah (napas aseton).
6) Neurosensori
• Pusing/pening
• Sakit kepala
• Kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parastesia.
• Gangguan penglihatan.
• Disorientasi; mengantuk
7) Nyeri
• Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat).
• Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati.
8) Pernapasan
Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergantung adanya infeksi/tidak)
9) Seksualitas
• Rabas vagina (cenderung infeksi).
• Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.
b. Hipertensi
1) Aktivitas : lemah, letih, lesu, takipnea, peningkatan HR, perubahan irama jantung.
2) Sirkulasi : riwayat hipertensi, palpitasi, kenaikan TD perubahan warna kulit, suhu dingin, pucat, sianosis, diaporesis.
3) Integritas ego : ansietas, depresi, marah, gelisah, otot muka tegang, peningkatan pola bicara.
4) Makanan/cairan : mual/muntah, BB normal/obesitas, edema.
5) Neurosensori : pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, epistaksis.
6) Nyeri : angina, nyeri hilang timbul pada tungkai, sakit kepala, nyeri abdomen.
7) Pernapasan : dispnea takipnea, riwayat merokok, bunyi nafas tambahan.
8) Eliminasi : gangguan gunjal saat ini atau yang lalu.
9) Keamanan : gangguan koordinasi, hipotensi postural.
2. Diagnosa keperawatan
a. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan
Tujuan :
Klien dapat toleransi terhadap aktivitas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam kriteria
Kriteria Hasil :

Indikator Berat Agak berat Sedang Agak ringan Ringan
HR DBN dalam respon terhadap aktivitas 1 2 3 4 5
RR DBN dalam respon aktivitas 1 2 3 4 5
TD sistolik dalam aktivitas 1 2 3 4 5
TD diastolik dalam aktivitas 1 2 3 4 5
Warna kulit 1 2 3 4 5
Melaporkan pelaksanaan ADL 1 2 3 4 5
Fase berjalan 1 2 3 4 5
Toleransi menapak lantai 1 2 3 4 5
Kemampuan untuk berbicara saat latihan 1 2 3 4 5
Jarak berjalan 1 2 3 4 5
Kekuatan 1 2 3 4 5

Intervensi
1) Mengidentifikasi faktor penyebab intoleransi aktivitas faktor fisik atau psikologis
2) Kaji kemampuan aktivitas klien setiap hari secara tepat.
3) Lakukan alih baring secara bertahap dan teratur
4) Monitor dan catat kemampuan untuk mentoleransi aktivitas meliputi nadi, TD, RR, warna kulit sebelum dan selama aktivitas.
5) Anjurkan klien untuk menghentikan aktivitas bila ada keluhan: rasa tidak nyaman yang semakin hebat, rasa tertekan atau berat pada dada, punggung, leher, palpitasi, pusing.
6) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan kalori.
7) Berikan tambahan O2 bila diperlukan
b. Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan kehilangan volume cairan secara aktif.
Tujuan :
Status cairan : intake cairan dapat adekuat setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria hasil:
Indikator Tercapai Sering Kadang-kadang Jarang Tak tercapai
1 2 3 4 5
Vital sign DBN
24 jam intake dan output seimbang 1 2 3 4 5
Hidrasi kulit DBN 1 2 3 4 5
Membran mukosa lembab 1 2 3 4 5
Hematokrit dalam batas normal (36-42 vol%) 1 2 3 4 5
Berat badan stabil 1 2 3 4 5
Asites tidak ada 1 2 3 4 5
Oedem perifer tidak ada 1 2 3 4 5
Mata tidak cowong 1 2 3 4 5

1) Management cairan
• Monitor vital sign / 4 jam
• Berikan terapi cairan infus sesuai terapi
• Monitor status hidrasi
• Monitor laboratory (HCT)
2) Monitor cairan
• Kaji intake dan out put
• Observasi warna, kualitas dari urine
• Monitor membran mukosa, turgor kulit
c. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh ybd intake yang berlebih
Tujuan :
Status nutrisi: Intake makanan dan output seimbang setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria :
Indikator Tak adequat Kurang adequat Kadang-kadang Sering Sangat adequat
1. Intake makanan oral DBN
2. Intake cairan oral DBN
3. Monitor BB
4. Nutrisi suplement yang dibutuhkan
5. Melaporkan tanda dan gejala ketidakseimbangan cairan 1

1

1
1

1

2

2

2
2

2 3

3

3
3

3 4

4

4
4

4 5

5

5
5

5

1) Monitoring Nutrisi
• Monitor BB
• Monitor turgor kulit
• Monitor untuk mual dan muntah
• Monitor HCT
• Monitor cairan elektrolit
• Sediakan nutrisi makanan dan cairan
• Berikan makanan kesukaan dan yang dipilih sesuai terapi
2) Monitor cairan
• Monitor BB
• Monitor intake dan output
• Monitor vital sign
• Monitor membran mukosa, turgor kulit
d. Nyeri akut ybd agen injuri biologi
Tujuan: Klien mampu mentoleransi level nyerinya
Kriteria :
Indikator Selalu Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Melaporkan nyeri 1 2 3 4 5
Frekuensi terhadap nyeri 1 2 3 4 5
Lamanya nyeri 1 2 3 4 5
Ekspresi wajah nyeri 1 2 3 4 5
Menjaga daerah nyeri 1 2 3 4 5
Menyebutkan faktor penyebab 1 2 3 4 5
Menggunakan tindakan non analgetik 1 2 3 4 5
Menggunakan tindakan pencegahan 1 2 3 4 5
Melaporkan gejala pada tim kesehatan 1 2 3 4 5
Berkeringat saat nyeri 1 2 3 4 5

Intervensi :
1) Kaji ulang secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi frekuensi, skala nyeri dan faktor pencetus.
2) Observasi tanda-tanda vital.
3) Beri posisi yang nyaman pada klien.
4) Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
5) Anjurkan penggunaan cara mengontrol nyeri
6) Laksanakan terapi analgetik.
e. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan sering terbangun
Tujuan : Kebutuhan tidur klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria :
Indikator Selalu adequat Agak adequat Kadang-kadang adequat Jarang adequat Tidak pernah adequat
Jumlah jam tidur 1 2 3 4 5
Kualitas tidur 1 2 3 4 5
Sering terbangun 1 2 3 4 5
Perasaan segar setelah bangun tidur 1 2 3 4 5
Keefektifan tidur 1 2 3 4 5
Menunjukkan gangguan tidur 1 2 3 4 5
Menunjukkan tidur yang rutin 1 2 3 4 5
Terjaga beberapa waktu 1 2 3 4 5
Observasi pola tidur 1 2 3 4 5

f. Perfusi jaringan otak tidak efektif yang berhubungan dengan perlemahan alirah darah
Tujuan :
Perfusi jaringan otak klien efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria :
Indikator Sangat kompromi Sering Kadang-kadang Sedikit Tidak
Tidak pusing 1 2 3 4 5
Tidak mual 1 2 3 4 5
Tidak pingsan 1 2 3 4 5
TIK dalam batas normal 1 2 3 4 5
Fungsi neurologi 1 2 3 4 5
Tidak muncul bruit karotis 1 2 3 4 5
Tidak muncul kelemahan 1 2 3 4 5
Tidak muncul kecemasan 1 2 3 4 5
Tidak muncul agitasi 1 2 3 4 5
Tidak ada lesu yang dirasakan 1 2 3 4 5

Intervensi :
1) Monitor keadaan umum klien dan respon terhadap aktivitas
2) Observasi TTV
3) Berikan O2 sesuai program
4) Posisikan kepala 30o.
5) Laksanakan terapi dokter.
g. Resiko untuk jatuh yang berhubungan dengan perubahan fungsi cerebral.
Tujuan :
Resiko jatuh klien dapat diminimalkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria :
Indikator Tidak pernah diperlihatkan Jarang Kadang-kadang Sering Selalu
Ketidak-tahuan resiko jatuh 1 2 3 4 5
Monitor keadaan lingkungan beresiko 1 2 3 4 5
Tingkatkan kontrol resiko efektif 1 2 3 4 5
Sarankan kontrol resiko yang dibutuhkan 1 2 3 4 5
Pertahankan strategi kontrol resiko 1 2 3 4 5
Modifikasi gaya hidup 1 2 3 4 5
Gunakan layanan perawatan kesehatan yang optimal 1 2 3 4 5
Gunakan komunikasi untuk mengontrol resiko 1 2 3 4 5
Monitor perubahan status kesehatan 1 2 3 4 5
Intervensi :
1) Identifikasi faktor penyebab jatuh klien.
2) Anjurkan klien untuk meminta bantuan bila akan beraktifitas
3) Monitor kelelahan klien dengan ambulasi
4) Libatkan keluarga untuk membantu kebutuhan klien.
h. Resiko infeksi yang berhubungan dengan tidak adekuat pertahanan sekunder terhadap penekanan respon inflamasi
Tujuan : Resiko infeksi dapat diminimalkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria :
Indikator Berat Agak berat Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Menunjukkan penyebaran infeksi
infeksi 1 2 3 4 5
Menunjukkan penambahan penularan 1 2 3 4 5
Menunjukkan tanda dan gejala infeksi 1 2 3 4 5
Menunjukkan peningkatan aktifitas resisten terhadap infeksi 1 2 3 4 5
Menunjukkan prosedur screening 1 2 3 4 5
Menunjukkan praktek untuk mengurangi transmisi 1 2 3 4 5

Intervensi :
1) Observasi tanda-tanda vital.
2) Observasi tanda dan gejala infeksi baik lokal dan sistemik
3) Jelaskan pada keluarga tentang tanda-tanda infeksi
4) Anjurkan makan-makanan yang tinggi protein
5) Beri terapi antibiotik sesuai advis dokter
i. Defisit pengetahuan tentang proses penyakit dan penatalaksanaannya yang berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan :
Pengetahuan kognitif : Pemahaman klien bertambah tentang proses penyakit DM dan penatalaksanaannya setelah dilakukan penkes selama 20 menit.
Kriteria :
Indikator Tidak Terbatas Sedang Cukup Luas
1. Definisi DM
2. Penyebab DM
3. Tanda dan gejala DM
4. Komplikasi DM
5. Menjelaskan penatalaksanaan DM 1
1
1

1
1 2
2
2

2
2 3
3
3

3
3 4
4
4

4
4 5
5
5

5
5
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga
2) Berikan informasi tentang DM
3) Deskripsikan secara umum tanda gejala DM
4) Identifikasi penyebab DM
5) Diskusikan penatalaksanaan DM
6) Deskripsikan kemungkinan komplikasi DM
7) Berikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk bertanya


DAFTAR PUSTAKA


Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah”, Edisi 8, Vol 2, Jakarta: EGC

Doenges Marilynn E., et. al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC

Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 2, Jakarta: EGC

Underwood, J. C. E. 2000. Patologi Umum dan Sistematik. Volume II. Jakarta: EGC

Iskandar, Junaidi. 2002. Panduan Praktis Stroke. PT. Buana Ilmu Populer. Jakarta.

Mansjoer Arif et. al. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius

Noer Sjaifoellah. 2002. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I. Jakarta: FKUI

Nanda. 2002. Diagnosis Keperawatan Nanda. Terjemahan Mahasiswa PSIK-B FK UGM. Yogyakarta: UGM

Nettina Sandra. M. 2002. Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC

Iowa Outcome Project. 2000. Nursing Outcomes Clasification (NOC). Second edition. Mosby

Iowa Outcome Project. 2000. Nursing Intervention Clasification (NIC). Second edition. Mosby

Soeharso Imam, 2001. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Edisi Kedua Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Sustiani, Lanny, Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto. 2003. Stroke. Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tambayong Jon. 2000. “Patofisiologi Untuk Keperawatan”, Jakarta, EGC

Tjokropawiro, Askandar. 2001. Diabetes Melitus, Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi. Edisi 3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar: